PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
UMUM
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia
merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya,
dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia
dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan
penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang
dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan
datang.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan
manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai
peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia
internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan
agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung
jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan
kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.
Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada
pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan
menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta
mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk
memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun
demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai
strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat
ekonomi, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam daerah
aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber
pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat
diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan
kerja dan kesempatan berusaha. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan
rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Agar selalu terjaga keseimbangan antara
kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, maka pengaturan, pembinaan dan
pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh menteri yang membidangi kehutanan.
Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu, tetapi harus
diperluas dengan pemanfaatan lainnya seperti plasma nutfah dan jasa lingkungan, sehingga manfaat
hutan lebih optimal.
Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan
pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada
kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan
yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan
masyarakat.
Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan daerah, maka
pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah
daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat
nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia
digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di
dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat,
hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum
adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus
oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan.
Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti
hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan
masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap
memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi
pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu
fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk mejaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi
hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain
mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat,
sehingga peranserta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut
sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk
menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya
konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.
Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa
lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang
izin harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang
dipercayakan kepadanya.
Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan
koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan hutan. Badan usaha milik negara
(BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia)
serta koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan, wajib bekerja sama dengan koperasi
masyarakat setempat dan secara bertahap memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang
tangguh, mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya.
Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, merupakan
bagian dari penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan
perimbangan pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain
kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana reboisasi, pemegang izin harus pula
menyisihkan dana investasi untuk pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi pelestarian hutan.
Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan
yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan
adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan
hutan.
Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas bercirikan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta
penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Namun demikian dalam penyelenggaraan
pengembangan sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan
kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.
Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka
pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau
perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung
maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan,
pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.
Selanjutnya dalam undang-undang ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi,
dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum
dibidang kehutanan. Dengan sanksi pidana dan administrasi yang besar diharapkan akan menimbulkan
efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari uraian tersebut di atas, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan
kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat
memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan
masa yang akan datang.
Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian
menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dengan telah ditetapkannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
maka semua ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tersebut tidak
diatur lagi dalam undang-undang ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap
pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur
lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada
semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran
seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin
pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan
oligopsoni.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling
keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan
BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah,
dan koperasi.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan
penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi
masyarakat.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan
nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" adalah semua
benda hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13.
Hasil hutan tersebut dapat berupa:
a. hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan,
jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari
tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan;
b. hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya,
satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang
dihasilkannya;
c. benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan
ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa
sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda
tambang;
d. jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan
dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain;
e. hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan
mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain
berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp.
Benda-benda tambang yang berada di hutan juga dikuasai oleh negara, tetapi tidak
diatur dalam undang-undang ini, namun pemanfaatannya mengikuti peraturan yang
berlaku dengan tetap memperhatikan undang-undang ini.
Pengertian "dikuasai" bukan berarti "dimiliki", melainkan suatu pengertian yang
mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum
publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini.
Ayat (2)
Pelaksanaan kewenangan pemerintah yang menyangkut hal-hal yang bersifat sangat
penting, strategis, serta berdampak nasional dan internasional, dilakukan dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan,
yang dapat berupa hutan atau bukan hutan.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan
pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat
tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau
sebutan lainnya.
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan
negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara,
tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.
Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa
disebut hutan desa.
Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat disebut hutan kemasyarakatan.
Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan produksi.
Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan
fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diemban oleh
suatu hutan.
Pasal 7
Kawasan hutan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini merupakan bagian
dari kawasan suaka alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada
pada kawasan hutan.
Kawasan hutan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini merupakan
bagian dari kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
yang berada pada kawasan hutan.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam berlaku bagi kawasan hutan suaka alam dan
kawasan hutan pelestarian alam yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah penggunaan hutan untuk keperluan
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta kepentingan-kepentingan
religi dan budaya setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Hutan kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di wilayah perkotaan
dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan.
Wilayah perkotaan merupakan kumpulan pusat-pusat pemukiman yang berperan di
dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau
suatu bentuk ciri kehidupan kota. Dengan demikian wilayah perkotaan tidak selalu
sama dengan wilayah administratif pemerintahan kota.
Ayat (2)
Peraturan pemerintah tentang kebijaksanaan teknis pembangunan hutan kota memuat
aturan antara lain:
a. tipe hutan kota,
b. bentuk hutan kota,
c. perencanaan dan pelaksanaan,
d. pembinaan dan pengawasan,
e. luas proporsional hutan kota terhadap luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat
pencemaran, dan lain-lain.
Peraturan pemerintah ini merupakan pedoman dalam penetapan peraturan daerah.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu harus
mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan
memerlukan waktu lama.
Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan
penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi tingkat
yang lebih rendah.
Inventarisasi untuk semua tingkat, dilaksanakan terhadap hutan negara maupun hutan
hak.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat
menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber
daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah
surplus atau defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
Ayat (5)
Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi
pengaturannya akan dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang
perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. tata cara,
b. mekanisme pelaksanaan,
c. pengawasan dan pengendalian, dan
d. sistem informasi.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan,
antara lain berupa:
a. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;
b. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;
c. pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan
d. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi
yang berbatasan dengan tanah hak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penatagunaan hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi
pengaturannya dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang
perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah dimaksud antara lain memuat kriteria atau persyaratan hutan
dan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan
dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari.
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah
seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.
Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil
sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari,
antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan
produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan
hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan
kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS).
Ayat (2)
Dalam penetapan pembentukan wilayah pengelolaan tingkat unit pengelolaan, juga
harus mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan
kearifan tradisional masyarakat.
Pembentukan unit pengelolaan hutan didasarkan pada kriteria dan tata cara yang
ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh
vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi
hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem
hutan.
Yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah keseimbangan antara manfaat
lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara lestari.
Ayat (2)
Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian
besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi
daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan
keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka
ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau,
minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya pemerintah menetapkan
luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi
biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang
luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas
mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas
minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan
sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup
masyarakat. Sebaliknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya
kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.
Pasal 19
Ayat (1)
Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil
penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang
mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersamasama
dengan pihak lain yang terkait.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai
strategis", adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti
perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi
masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. kriteria fungsi hutan,
b. cakupan luas,
c. pihak-pihak yang melaksanakan penelitian, dan
d. tata cara perubahan.
Pasal 20
Ayat (1)
Dalam menyusun rencana kehutanan di samping mengacu pada Pasal 13 sebagai acuan
pokok, harus diperhatikan juga Pasal 11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penyusunan rencana kehutanan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah tentang perencanaan kehutanan memuat aturan antara lain:
a. jenis-jenis rencana,
b. tata cara penyusunan rencana kehutanan,
c. sistim perencanaan,
d. proses perencanaan,
e. koordinasi, dan
f. penilaian.
Pasal 21
Hutan merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan
dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan
demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai
budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta memperhatikan hak-hak rakyat,
dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat.
Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah
daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat
berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan
kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah
tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk
perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan
(Persero), yang pembinaannya di bawah Menteri.
Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dibutuhkan lembaga-lembaga penunjang
antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan kehutanan, lembaga penelitian
dan pengembangan, lembaga pendidikan dan latihan, serta lembaga penyuluhan.
Pasal 22
Ayat (1)
Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam
pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena
kesejarahannya, dan keadaan hutan.
Tata hutan mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe
ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya, dengan tujuan untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pembagian blok ke dalam petak dimaksudkan untuk mempermudah administrasi
pengelolaan hutan dan dapat memberikan peluang usaha yang lebih besar bagi
masyarakat setempat.
Intensitas pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan
fungsi dan kondisi masing-masing kawasan hutan.
Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu
sasaran yang optimal dan ekonomis dengan cara sederhana.
Ayat (4)
Penyusunan rencana pengelolaan hutan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi,
nilai budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan.
Ayat (5)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. pengaturan tentang tata cara penataan hutan,
b. penggunaan hutan,
c. jangka waktu, dan
d. pertimbangan daerah.
Pasal 23
Hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat
sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu. Oleh karena
itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran
serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya.
Manfaat yang optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan
hutan yang berkualitas tinggi dan lestari.
Pasal 24
Hutan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan
perkembangannya berlangsung secara alami.
Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam.
Kawasan taman nasional ditata ke dalam zona sebagai berikut:
a. zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak
diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia;
b. zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga
zona inti; dan
c. zona pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi
dan kunjungan wisata.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang
menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:
a. budidaya jamur,
b. penangkaran satwa, dan
c. budidaya tanaman obat dan tanaman hias.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang
memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan
mengurangi fungsi utamanya, seperti:
d. pemanfaatan untuk wisata alam,
e. pemanfaatan air, dan
f. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan
untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan,
seperti:
g. mengambil rotan,
h. mengambil madu, dan
i. mengambil buah.
Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk
mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang
dan generasi yang akan datang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat
setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilaksanakan untuk memanfaatkan ruang
tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi
yang optimal, misalnya budidaya tanaman di bawah tegakan hutan.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah segala bentuk usaha yang
memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak
mengurangi fungsi pokoknya.
Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan
alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman.
Usaha pemanfaatan hutan tanaman dapat berupa hutan tanaman sejenis dan atau
hutan tanaman berbagai jenis.
Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak
produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam.
Tanaman yang dihasilkan dari usaha pemanfaatan hutan tanaman merupakan aset yang
dapat dijadikan agunan.
Izin pemungutan hasil hutan di hutan produksi diberikan untuk mengambil hasil hutan
baik berupa kayu maupun bukan kayu, dengan batasan waktu, luas, dan atau volume
tertentu, dengan tetap memperhatikan azas lestari dan berkeadilan.
Kegiatan pemungutan meliputi pemanenan, penyaradan, pengangkutan, pengolahan,
dan pemasaran yang diberikan untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di
dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat
menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai
keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan
aturan yang disepakati bersama.
Kewajiban BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia bekerjasama dengan koperasi bertujuan untuk
memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi
yang tangguh, mandiri, dan profesional.
Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional
diperlakukan setara dengan BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia.
Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia
turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan aspek kelestarian hutan meliputi:
a. kelestarian lingkungan,
b. kelestarian produksi, dan
c. terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil merata dan transparan.
Yang dimaksud dengan aspek kepastian usaha meliputi:
d. kepastian kawasan,
e. kepastian waktu usaha, dan
f. kepastian jaminan hukum berusaha.
Untuk mewujudkan asas keadilan, pemerataan dan lestari, serta kepastian usaha, maka
perlu diadakan penataan ulang terhadap izin usaha pemanfaatan hutan.
Ayat (2)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
b. pembatasan luas,
c. pembatasan jumlah izin usaha, dan
d. penataan lokasi usaha.
Pasal 32
Khusus bagi pemegang izin usaha pemanfaatan berskala besar, selain diwajibkan untuk
menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, juga mempunyai kewajiban
untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pengolahan hasil hutan adalah pengolahan hulu hasil hutan.
Ayat (3)
Untuk menjaga keseimbangan penyediaan bahan baku hasil hutan terhadap permintaan
bahan baku industri hulu pengolahan hasil hutan, maka pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh Menteri.
Pasal 34
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus adalah pengelolaan dengan tujuan-tujuan
khusus seperti penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan
sosial budaya dan penerapan teknologi tradisional (indigenous technology). Untuk itu dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan sejarah perkembangan masyarakat dan kelembagaan
adat (indigenous institution), serta kelestarian dan terpeliharanya ekosistem.
Pasal 35
Ayat (1)
Iuran izin usaha pemanfaatan hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang
izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu, yang dilakukan sekali
pada saat izin tersebut diberikan. Besarnya iuran tersebut ditentukan dengan tarif
progresif sesuai luas areal.
Provisi sumber daya hutan adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai
instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil
hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi
serta kegiatan pendukungnya.
Dana jaminan kinerja adalah dana milik pemegang izin usaha pemanfaatan hutan,
sebagai jaminan atas pelaksanaan izin usahanya, yang dapat dicairkan kembali oleh
pemegang izin apabila kegiatan usahanya dinilai memenuhi ketentuan usaha
pemanfaatan hutan secara lestari.
Ayat (2)
Dana investasi pelestarian hutan adalah dana yang diarahkan untuk membiayai segala
jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian hutan, antara lain
biaya konservasi, biaya perlindungan hutan, dan biaya penanganan kebakaran hutan.
Dana tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh dunia usaha bidang kehutanan
bersama Menteri. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah
koordinasi dan pengawasan Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. tata cara pengenaan,
b. tata cara pembayaran,
c. tata cara pengelolaan,
d. tata cara penggunaan, dan
e. tata cara pengawasan dan pengendalian.
Pasal 36
Ayat (1)
Pemanfaatan hutan hak yang mempunyai fungsi produksi, dapat dilakukan kegiatan untuk
memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya dukung lahannya.
Ayat (2)
Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi, dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26. Pemerintah memberikan
kompensasi kepada pemegang hutan hak, apabila hutan hak tersebut diubah menjadi kawasan
hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 37
Ayat (1)
Terhadap hutan adat diperlakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan
terhadap hutan negara, sepanjang hasil hutan tersebut diperdagangkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam
kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatankegiatan
yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan
hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.
Kepentingan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis
yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan
listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan
keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pada prinsipnya di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka.
Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di kawasan hutan produksi
dengan ketentuan khusus dan secara selektif.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 39
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. tata cara pemberian izin,
b. pelaksanaan usaha pemanfaatan,
c. hak dan kewajiban, dan
d. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 40
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara bertahap, dalam upaya pemulihan serta
pengembangan fungsi sumber daya hutan dan lahan, baik fungsi produksi maupun fungsi lindung
dan konservasi.
Upaya meningkatkan daya dukung serta produktivitas hutan dan lahan dimaksudkan agar hutan
dan lahan mampu berperan sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk konservasi tanah
dan air, dalam rangka pencegahan banjir dan pencegahan erosi.
Pasal 41
Ayat (1)
Kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan.
Kegiatan reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan
penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan.
Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di
bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir
dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal.
Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama
sebagaimana pada hutan lainnya.
Ayat (2)
Pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan
rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan
keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kondisi spesifik biofisik adalah keadaan flora yang secara
spesifik cocok pada suatu kawasan atau habitat tertentu sehingga keberadaannya
mendukung ekosistem kawasan hutan yang akan direhabilitasi.
Penerapan teknik rehabilitasi hutan dan lahan harus mempertimbangkan lokasi spesifik,
sehingga perubahan ekosistem dapat dicegah sedini mungkin.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan mengikutsertakan
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. pengaturan daerah aliran sungai prioritas,
b. penyusunan rencana,
c. koordinasi antar sektor tingkat pusat dan daerah,
d. peranan pihak-pihak terkait, dan
e. penggunaan dan pemilihan jenis-jenis tanaman dan teknologi.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dukungan pemerintah dapat berupa bantuan teknis, dana, penyuluhan, bibit tanaman,
dan lain-lain, sesuai dengan keperluan dan kemampuan pemerintah.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. teknik,
b. tata cara,
c. pembiayaan,
d. organisasi,
e. penilaian, dan
f. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam
pada kawasan hutan.
Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis
vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan.
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. pola, teknik, dan metode,
b. pembiayaan,
c. pelaksanaan, dan
d. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 46
Fungsi konservasi alam berkaitan dengan: konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air, serta konservasi udara; diatur sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari
kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. prinsip-prinsip perlindungan hutan,
b. wewenang kepolisian khusus,
c. tata usaha peredaran hasil hutan, dan
d. pemberian kewenangan operasional kepada daerah.
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum,
maupun badan usaha.
Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api,
menara pengawas, dan jalan pemeriksaan.
Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat
angkut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik,
atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat
berperan sesuai dengan fungsinya.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah
dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang,
antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.
Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan
kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain
untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan
hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk
membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan
hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Huruf c
Secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan
kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut
dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
Huruf d
Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang.
Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus
atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran
hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan
dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat
izin dari pejabat yang berwenang.
Huruf e
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat pusat atau
daerah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memberikan izin.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
a. Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara
geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara,
dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk
menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian.
b. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi
pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya
bahan galian dan sifat letakannya.
c. Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk
menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap
pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan
tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai
bukti.
Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak
sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil
hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.
Huruf i
Pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk
kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan.
Huruf j
Yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa
traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok,
helikopter, jeep, tugboat, dan kapal.
Huruf k
Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alatalat
seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan
tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Ayat (4)
Undang-undang yang mengatur tentang ketentuan mengeluarkan, membawa, dan atau
mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi adalah Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) memiliki peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan hutan yang lestari.
Ayat (2)
Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan kekayaan
kultural, baik berupa seni dan atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi
tradisi atau budaya masyarakat. Kekayaan tersebut merupakan modal sosial untuk
peningkatan dan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK kehutanan.
Ayat (3)
Plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh
atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik.
Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.
Pencurian plasma nutfah adalah mengambil atau memanfaatkan plasma nutfah secara
tidak sah atau tanpa izin.
Pasal 53
Ayat (1)
Budaya IPTEK adalah kesadaran akan pentingnya IPTEK yang diartikulasikan dalam sikap
dan perilaku masyarakat, yang secara konsisten mau dan mampu memahami,
menguasai, menciptakan, menerapkan, dan mengembangkan IPTEK dalam kehidupan
sehari-hari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah lembaga penelitian dan pengembangan
(Litbang) departemen yang bertanggung jawab di bidang kehutanan bersama-sama
lembaga penelitian nondepartemen.
Yang dimaksud dengan perguruan tinggi adalah perguruan tinggi negeri dan swasta.
Yang dimaksud dengan dunia usaha adalah unit litbang BUMN, BUMD, dan BUMS
Indonesia.
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain
pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.
Ayat (4)
Untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang kondusif, pemerintah melakukan
inisiatif dan koordinasi bagi terselenggaranya penelitian dan pengembangan, antara
lain melalui kebijakan yang berorientasi pada penciptaan insentif dan disinsentif yang
memadai.
Pasal 54
Ayat (1)
Pemerintah mengembangkan hasil-hasil penelitian dalam bidang kehutanan menjadi
paket teknologi tepat guna, untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya
meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha pemanfaatan dan pengelolaan hutan.
Ayat (2)
Untuk menjamin keberlanjutan inovasi, penemuan, dan pengembangan IPTEK,
diperlukan jaminan hukum bagi para penemunya untuk dapat memperoleh manfaat dari
hasil temuannya.
Yang dimaksud melindungi adalah melindungi dari pencurian terhadap hak paten, hak
cipta, merk, atau jenis hak lainnya yang menjadi hak istimewa yang dimiliki oleh
peneliti atau lembaga Litbang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Semua upaya pemanfaatan dan pengembangan IPTEK hendaknya merupakan
manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diarahkan untuk kepentingan
manusia sebagai makhluk individu dan mahluk sosial.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain
pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga
internasional.
Ayat (4)
Mengingat penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan tidak hanya dilaksanakan
oleh pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan
koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Mengingat penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh
pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk
mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan
koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.
Pasal 57
Ayat (1)
Untuk penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan kehutanan, diperlukan biaya yang cukup besar dan berkelanjutan, guna
percepatan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK untuk mengejar
ketinggalan selama ini. Oleh karena itu diperlukan dana investasi yang memadai.
Untuk mengelola dana tersebut, dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri
membentuk lembaga. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di
bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.
Ayat (2)
Penyediaan kawasan hutan dimaksudkan untuk dijadikan lokasi penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, serta pengembangan
usaha guna memberdayakan lembaga penelitian, pendidikan dan latihan serta
penyuluhan kehutanan.
Pasal 58
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
a. kelembagaan,
b. tata cara kerjasama,
c. perizinan,
d. pengaturan tenaga peneliti asing,
e. pendanaan dan pemberdayaan,
f. pengaturan, pengelolaan kawasan hutan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, serta penyuluhan,
g. sistem informasi, dan
h. pengawasan dan pengendalian.
Pasal 59
Yang dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat
penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang kehutanan.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Yang dimaksud dengan berdampak nasional adalah kegiatan pengelolaan hutan yang
mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya penebangan liar, pencurian
kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan penambangan dalam hutan tanpa
izin.
Yang dimaksud dengan berdampak internasional adalah pengelolaan hutan yang
mempunyai dampak terhadap hubungan internasional, misalnya kebakaran hutan,
labelisasi produk hutan, penelitian dan pengembangan, kegiatan penggundulan hutan,
serta berbagai pelanggaran terhadap konvensi internasional.
Pasal 65
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
i. tata cara dan mekanisme pengawasan,
j. kelembagaan pengawasan,
k. obyek pengawasan, dan
l. tindak lanjut pengawasan.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan yang
bersifat operasional.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
m. jenis-jenis urusan yang kewenangannya diserahkan,
n. tatacara dan tata hubungan kerja,
o. mekanisme pertanggungjawaban, dan
p. pengawasan dan pengendalian.
Pasal 67
Ayat (1)
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi
unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Ayat (2)
Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar
hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di
daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
f. tata cara penelitian,
g. pihak-pihak yang diikutsertakan,
h. materi penelitian, dan
i. kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
Pasal 68
Ayat (1)
Dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk memperoleh manfaat
sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada putusnya hubungan
masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan hilangnya mata
pencaharian mereka.
Agar perubahan status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan,
maka pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban
untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata
pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah mencegah dan menanggulangi
terjadinya pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, pendudukan,
dan lain sebagainya.
Ayat (2)
Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan
konservasi, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan dalam
bentuk bantuan teknis, pelatihan, serta bantuan pembiayaan.
Pendampingan dimungkinkan karena adanya keuntungan sosial seperti pengendalian
banjir dan kekeringan, pencegahan erosi, serta pemantapan kondisi tata air.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat dimaksudkan sebagai mitra sehingga
terbentuk infrastruktur sosial yang kuat, mandiri, dan dinamis.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Forum pemerhati kehutanan merupakan mitra pemerintah dan pemerintah daerah
untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengurusan hutan dan berfungsi
merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai masukan
bagi pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan.
Keanggotaan forum antara lain terdiri dari organisasi profesi kehutanan, lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan, tokoh-tokoh masyarakat,
serta pemerhati kehutanan.
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. kelembagaan,
b. bentuk-bentuk peran serta, dan
c. tata cara peran serta.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah tindakan yang harus dilakukan oleh
pihak yang kalah sesuai keputusan pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah Undangundang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu meliputi pejabat pegawai
negeri sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab
dalam pengurusan hutan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Menangkap dan menahan orang yang diduga atau sepatutnya dapat diduga
melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan.
Dalam rangka menjaga kelancaran tugas di wilayah-wilayah kerja tertentu,
maka penerapan koordinasi dengan pihak POLRI dilaksanakan dengan tetap
mengacu KUHAP dan disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Penghentian penyidikan wajib diberitahukan kepada penyidik POLRI dan
penuntut umum.
Ayat (3)
Pejabat penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada
pejabat penyidik POLRI, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum
melalui pejabat penyidik POLRI. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan
bahwa hasil penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan.
Mekanisme hubungan koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dengan
pejabat penyidik POLRI dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat
(3) huruf d, juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Ketentuan pidana yang dikenakan pada ayat ini merupakan pelanggaran terhadap
kegiatan yang pada umumnya dilakukan oleh rakyat. Oleh karena itu sanksi pidana yang
diberikan relatif ringan dan diarahkan untuk pembinaan.
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Cukup jelas
Ayat (12)
Cukup jelas
Ayat (13)
Cukup jelas
Ayat (14)
Yang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan terbatas,
perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya.
Ayat (15)
Yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat,
perahu layar, helikopter, dan lain-lain.
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sanksi administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, pencabutan izin,
penghentian kegiatan, dan atau pengurangan areal.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. ketentuan-ketentuan ganti rugi dan sanksi administratif,
b. bentuk-bentuk sanksi, dan
c. pengawasan pelaksanaan.
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3888