Tuesday, March 15, 2011

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERANTASAN PENEBANGAN KAYU SECARA ILEGAL ...

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2005
TENTANG
PEMBERANTASAN PENEBANGAN KAYU SECARA ILEGAL DI KAWASAN
HUTAN DAN PEREDARANNYA DI SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan ini menginstruksikan:

Kepada :

  1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
  2. Menteri Kehutanan;
  3. Menteri Keuangan;
  4. Menteri Dalam Negeri;
  5. Menteri Perhubungan;
  6. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
  7. Menteri Luar Negeri;
  8. Menteri Pertahanan;
  9. Menteri Perindustrian;
  10. Menteri Perdagangan;
  11. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
  12. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
  13. Jaksa Agung;
  14. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  15. Panglima Tentara Nasional Negara;
  16. Kepala Badan Intelijen Negara;
  17. Para Gubernur;
  18. Para Bupati/Walikota;

    Untuk :

PERTAMA :

  1. Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
  2. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
  3. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
  4. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
  5. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
  6. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
  7. Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
  8. Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
  9. Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.
  10. Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai ekonomisnya.

KEDUA:
Khusus kepada:
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan:

  1. Mengkoordinasikan seluruh instansi terkait sebagaimana dalam Instruksi Presiden ini dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
  2. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
  3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-kasus yang mendesak.

Menteri Kehutanan:

  1. Meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi.
  2. Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya.
  3. Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia:

  1. Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
  2. Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
  3. Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan.

Jaksa Agung :

  1. Melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan.
  2. Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi.

Panglima Tentara Nasional Indonesia :

  1. Menangkap setiap pelaku yang tertangkap tangan melakukan penebangan dan peredaran kayu ilegal serta penyelundupan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia melalui darat atau perairan berdasarkan bukti awal yang cukup dan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Meningkatkan pengamanan terhadap batas wilayah negara yang rawan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan perairannya.

Menteri Keuangan :

  1. Mengalokasikan biaya yang digunakan untuk pelaksanaan Instruksi Presiden ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa.
  2. Menginstruksikan kepada aparat Bea Cukai untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap lalu lintas kayu di daerah pabean.

Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

Menteri Perhubungan :

  1. Meningkatkan pengawasan perizinan di bidang angkutan yang mengangkut kayu.
  2. Menginstruksikan kepada seluruh Administrator Pelabuhan dan Kepala Kantor Pelabuhan agar tidak memberikan izin pelayaran kepada kapal yang mengangkut kayu ilegal.
  3. Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang mengangkut kayu ilegal dengan mencabut izin usaha pelayaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  4. Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

Para Gubernur :

  1. Mencabut dan merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
  2. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya melalui operasi preventif dan represif.
  3. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
  5. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya.
  6. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
  7. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Bupati/Walikota :

  1. Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
  2. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/Kota dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya melalui operasi preventif dan represif.
  3. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
  5. Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di wilayahnya.
  6. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
  7. Menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur peredaran kepemilikan dan penggunaan gergaji rantai (chainsaw) dan sejenisnya.
  8. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui Gubernur.

KETIGA:
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Intelijen Negara, agar memberikan dukungan dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya kepada instansi sebagaimana diktum KEDUA.

KEEMPAT:
Dengan berlakunya Instruksi Presiden ini, maka Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting dinyatakan tidak berlaku.

KELIMA:
Agar melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab.

Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG

KEHUTANAN

UMUM

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia

merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya,

dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia

dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan

penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang

dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara

berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan

datang.

Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan

manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai

peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia

internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.

Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan

agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung

jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan

kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,

keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.

Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada

pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan

dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan

menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta

mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk

memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun

demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai

strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat.

Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat

ekonomi, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam daerah

aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber

pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat

diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan

kerja dan kesempatan berusaha. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan

rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Agar selalu terjaga keseimbangan antara

kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, maka pengaturan, pembinaan dan

pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh menteri yang membidangi kehutanan.

Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu, tetapi harus

diperluas dengan pemanfaatan lainnya seperti plasma nutfah dan jasa lingkungan, sehingga manfaat

hutan lebih optimal.

Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan

pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada

kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan

yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan

masyarakat.

Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan daerah, maka

pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah

daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat

nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia

digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah

yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di

dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat,

hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum

adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus

oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan

diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan.

Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut

ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti

hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.

Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan

masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap

memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi

pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu

fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk mejaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi

hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain

mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat,

sehingga peranserta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut

sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk

menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya

konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.

Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa

lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin

pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang

izin harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang

dipercayakan kepadanya.

Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan

koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan hutan. Badan usaha milik negara

(BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia)

serta koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan, wajib bekerja sama dengan koperasi

masyarakat setempat dan secara bertahap memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang

tangguh, mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya.

Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, merupakan

bagian dari penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan

perimbangan pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain

kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana reboisasi, pemegang izin harus pula

menyisihkan dana investasi untuk pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi pelestarian hutan.

Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan

yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak,

kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan

adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan,

kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan

hutan.

Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas bercirikan

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta

penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Namun demikian dalam penyelenggaraan

pengembangan sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan

kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.

Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka

pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau

perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung

maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan,

pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.

Selanjutnya dalam undang-undang ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi,

dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum

dibidang kehutanan. Dengan sanksi pidana dan administrasi yang besar diharapkan akan menimbulkan

efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai

penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dari uraian tersebut di atas, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan

kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat

memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan

masa yang akan datang.

Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian

menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dengan telah ditetapkannya

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,

maka semua ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tersebut tidak

diatur lagi dalam undang-undang ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap

pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur

lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap

penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada

semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran

seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin

pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan

oligopsoni.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam

penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling

keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan

BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah,

dan koperasi.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan

penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi

masyarakat.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap

penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan

nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" adalah semua

benda hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13.

Hasil hutan tersebut dapat berupa:

a. hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan,

jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari

tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan;

b. hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya,

satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang

dihasilkannya;

c. benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan

ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa

sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda

tambang;

d. jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan

dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain;

e. hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan

mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain

berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp.

Benda-benda tambang yang berada di hutan juga dikuasai oleh negara, tetapi tidak

diatur dalam undang-undang ini, namun pemanfaatannya mengikuti peraturan yang

berlaku dengan tetap memperhatikan undang-undang ini.

Pengertian "dikuasai" bukan berarti "dimiliki", melainkan suatu pengertian yang

mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum

publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini.

Ayat (2)

Pelaksanaan kewenangan pemerintah yang menyangkut hal-hal yang bersifat sangat

penting, strategis, serta berdampak nasional dan internasional, dilakukan dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan,

yang dapat berupa hutan atau bukan hutan.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan

pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat

tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau

sebutan lainnya.

Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan

negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara,

tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada

dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.

Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa

disebut hutan desa.

Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan

masyarakat disebut hutan kemasyarakatan.

Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan produksi.

Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan

fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diemban oleh

suatu hutan.

Pasal 7

Kawasan hutan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini merupakan bagian

dari kawasan suaka alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada

pada kawasan hutan.

Kawasan hutan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini merupakan

bagian dari kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990

yang berada pada kawasan hutan.

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang

kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam berlaku bagi kawasan hutan suaka alam dan

kawasan hutan pelestarian alam yang diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah penggunaan hutan untuk keperluan

penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta kepentingan-kepentingan

religi dan budaya setempat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Hutan kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di wilayah perkotaan

dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan.

Wilayah perkotaan merupakan kumpulan pusat-pusat pemukiman yang berperan di

dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau

suatu bentuk ciri kehidupan kota. Dengan demikian wilayah perkotaan tidak selalu

sama dengan wilayah administratif pemerintahan kota.

Ayat (2)

Peraturan pemerintah tentang kebijaksanaan teknis pembangunan hutan kota memuat

aturan antara lain:

a. tipe hutan kota,

b. bentuk hutan kota,

c. perencanaan dan pelaksanaan,

d. pembinaan dan pengawasan,

e. luas proporsional hutan kota terhadap luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat

pencemaran, dan lain-lain.

Peraturan pemerintah ini merupakan pedoman dalam penetapan peraturan daerah.

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup Jelas

Pasal 12

Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu harus

mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan

memerlukan waktu lama.

Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan

penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan.

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi tingkat

yang lebih rendah.

Inventarisasi untuk semua tingkat, dilaksanakan terhadap hutan negara maupun hutan

hak.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat

menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber

daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah

surplus atau defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya.

Ayat (5)

Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi

pengaturannya akan dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang

perencanaan kehutanan.

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. tata cara,

b. mekanisme pelaksanaan,

c. pengawasan dan pengendalian, dan

d. sistem informasi.

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan,

antara lain berupa:

a. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;

b. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;

c. pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan

d. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi

yang berbatasan dengan tanah hak.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Penatagunaan hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi

pengaturannya dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang

perencanaan kehutanan.

Peraturan pemerintah dimaksud antara lain memuat kriteria atau persyaratan hutan

dan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya.

Pasal 17

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan

dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari.

Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah

seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.

Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil

sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari,

antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan

produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan

hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan

kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS).

Ayat (2)

Dalam penetapan pembentukan wilayah pengelolaan tingkat unit pengelolaan, juga

harus mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan

kearifan tradisional masyarakat.

Pembentukan unit pengelolaan hutan didasarkan pada kriteria dan tata cara yang

ditetapkan oleh Menteri.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh

vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi

hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem

hutan.

Yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah keseimbangan antara manfaat

lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara lestari.

Ayat (2)

Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian

besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi

daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan

keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka

ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau,

minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya pemerintah menetapkan

luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi

biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang

luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas

mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas

minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan

sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup

masyarakat. Sebaliknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya

kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.

Pasal 19

Ayat (1)

Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil

penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang

mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersamasama

dengan pihak lain yang terkait.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai

strategis", adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti

perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi

masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. kriteria fungsi hutan,

b. cakupan luas,

c. pihak-pihak yang melaksanakan penelitian, dan

d. tata cara perubahan.

Pasal 20

Ayat (1)

Dalam menyusun rencana kehutanan di samping mengacu pada Pasal 13 sebagai acuan

pokok, harus diperhatikan juga Pasal 11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Penyusunan rencana kehutanan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan.

Peraturan pemerintah tentang perencanaan kehutanan memuat aturan antara lain:

a. jenis-jenis rencana,

b. tata cara penyusunan rencana kehutanan,

c. sistim perencanaan,

d. proses perencanaan,

e. koordinasi, dan

f. penilaian.

Pasal 21

Hutan merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan

dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan

demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai

budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta memperhatikan hak-hak rakyat,

dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat.

Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah

daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat

berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan

kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah

tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk

perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan

(Persero), yang pembinaannya di bawah Menteri.

Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dibutuhkan lembaga-lembaga penunjang

antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan kehutanan, lembaga penelitian

dan pengembangan, lembaga pendidikan dan latihan, serta lembaga penyuluhan.

Pasal 22

Ayat (1)

Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam

pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena

kesejarahannya, dan keadaan hutan.

Tata hutan mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe

ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya, dengan tujuan untuk memperoleh

manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pembagian blok ke dalam petak dimaksudkan untuk mempermudah administrasi

pengelolaan hutan dan dapat memberikan peluang usaha yang lebih besar bagi

masyarakat setempat.

Intensitas pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan

fungsi dan kondisi masing-masing kawasan hutan.

Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu

sasaran yang optimal dan ekonomis dengan cara sederhana.

Ayat (4)

Penyusunan rencana pengelolaan hutan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi,

nilai budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan.

Ayat (5)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. pengaturan tentang tata cara penataan hutan,

b. penggunaan hutan,

c. jangka waktu, dan

d. pertimbangan daerah.

Pasal 23

Hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat

sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu. Oleh karena

itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran

serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya.

Manfaat yang optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan

hutan yang berkualitas tinggi dan lestari.

Pasal 24

Hutan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai

kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan

perkembangannya berlangsung secara alami.

Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,

dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam.

Kawasan taman nasional ditata ke dalam zona sebagai berikut:

a. zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak

diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia;

b. zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga

zona inti; dan

c. zona pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi

dan kunjungan wisata.

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang

menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:

a. budidaya jamur,

b. penangkaran satwa, dan

c. budidaya tanaman obat dan tanaman hias.

Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang

memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan

mengurangi fungsi utamanya, seperti:

d. pemanfaatan untuk wisata alam,

e. pemanfaatan air, dan

f. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.

Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan

untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan,

seperti:

g. mengambil rotan,

h. mengambil madu, dan

i. mengambil buah.

Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran

masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk

mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang

dan generasi yang akan datang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat

setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS

Indonesia.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilaksanakan untuk memanfaatkan ruang

tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi

yang optimal, misalnya budidaya tanaman di bawah tegakan hutan.

Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah segala bentuk usaha yang

memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak

mengurangi fungsi pokoknya.

Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan

alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman.

Usaha pemanfaatan hutan tanaman dapat berupa hutan tanaman sejenis dan atau

hutan tanaman berbagai jenis.

Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak

produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam.

Tanaman yang dihasilkan dari usaha pemanfaatan hutan tanaman merupakan aset yang

dapat dijadikan agunan.

Izin pemungutan hasil hutan di hutan produksi diberikan untuk mengambil hasil hutan

baik berupa kayu maupun bukan kayu, dengan batasan waktu, luas, dan atau volume

tertentu, dengan tetap memperhatikan azas lestari dan berkeadilan.

Kegiatan pemungutan meliputi pemanenan, penyaradan, pengangkutan, pengolahan,

dan pemasaran yang diberikan untuk jangka waktu tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di

dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung,

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat

menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai

keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan

aturan yang disepakati bersama.

Kewajiban BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia bekerjasama dengan koperasi bertujuan untuk

memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi

yang tangguh, mandiri, dan profesional.

Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional

diperlakukan setara dengan BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia.

Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia

turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut.

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan aspek kelestarian hutan meliputi:

a. kelestarian lingkungan,

b. kelestarian produksi, dan

c. terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil merata dan transparan.

Yang dimaksud dengan aspek kepastian usaha meliputi:

d. kepastian kawasan,

e. kepastian waktu usaha, dan

f. kepastian jaminan hukum berusaha.

Untuk mewujudkan asas keadilan, pemerataan dan lestari, serta kepastian usaha, maka

perlu diadakan penataan ulang terhadap izin usaha pemanfaatan hutan.

Ayat (2)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

b. pembatasan luas,

c. pembatasan jumlah izin usaha, dan

d. penataan lokasi usaha.

Pasal 32

Khusus bagi pemegang izin usaha pemanfaatan berskala besar, selain diwajibkan untuk

menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, juga mempunyai kewajiban

untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya.

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengolahan hasil hutan adalah pengolahan hulu hasil hutan.

Ayat (3)

Untuk menjaga keseimbangan penyediaan bahan baku hasil hutan terhadap permintaan

bahan baku industri hulu pengolahan hasil hutan, maka pengaturan, pembinaan, dan

pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh Menteri.

Pasal 34

Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus adalah pengelolaan dengan tujuan-tujuan

khusus seperti penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan

sosial budaya dan penerapan teknologi tradisional (indigenous technology). Untuk itu dalam

pelaksanaannya harus memperhatikan sejarah perkembangan masyarakat dan kelembagaan

adat (indigenous institution), serta kelestarian dan terpeliharanya ekosistem.

Pasal 35

Ayat (1)

Iuran izin usaha pemanfaatan hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang

izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu, yang dilakukan sekali

pada saat izin tersebut diberikan. Besarnya iuran tersebut ditentukan dengan tarif

progresif sesuai luas areal.

Provisi sumber daya hutan adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai

instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.

Dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil

hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.

Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi

serta kegiatan pendukungnya.

Dana jaminan kinerja adalah dana milik pemegang izin usaha pemanfaatan hutan,

sebagai jaminan atas pelaksanaan izin usahanya, yang dapat dicairkan kembali oleh

pemegang izin apabila kegiatan usahanya dinilai memenuhi ketentuan usaha

pemanfaatan hutan secara lestari.

Ayat (2)

Dana investasi pelestarian hutan adalah dana yang diarahkan untuk membiayai segala

jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian hutan, antara lain

biaya konservasi, biaya perlindungan hutan, dan biaya penanganan kebakaran hutan.

Dana tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh dunia usaha bidang kehutanan

bersama Menteri. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah

koordinasi dan pengawasan Menteri.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. tata cara pengenaan,

b. tata cara pembayaran,

c. tata cara pengelolaan,

d. tata cara penggunaan, dan

e. tata cara pengawasan dan pengendalian.

Pasal 36

Ayat (1)

Pemanfaatan hutan hak yang mempunyai fungsi produksi, dapat dilakukan kegiatan untuk

memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya dukung lahannya.

Ayat (2)

Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi, dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26. Pemerintah memberikan

kompensasi kepada pemegang hutan hak, apabila hutan hak tersebut diubah menjadi kawasan

hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 37

Ayat (1)

Terhadap hutan adat diperlakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan

terhadap hutan negara, sepanjang hasil hutan tersebut diperdagangkan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)

Kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam

kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatankegiatan

yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan

hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.

Kepentingan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis

yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan

listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan

keamanan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pada prinsipnya di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka.

Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di kawasan hutan produksi

dengan ketentuan khusus dan secara selektif.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 39

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. tata cara pemberian izin,

b. pelaksanaan usaha pemanfaatan,

c. hak dan kewajiban, dan

d. pengendalian dan pengawasan.

Pasal 40

Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara bertahap, dalam upaya pemulihan serta

pengembangan fungsi sumber daya hutan dan lahan, baik fungsi produksi maupun fungsi lindung

dan konservasi.

Upaya meningkatkan daya dukung serta produktivitas hutan dan lahan dimaksudkan agar hutan

dan lahan mampu berperan sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk konservasi tanah

dan air, dalam rangka pencegahan banjir dan pencegahan erosi.

Pasal 41

Ayat (1)

Kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan.

Kegiatan reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan

penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan.

Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di

bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir

dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal.

Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama

sebagaimana pada hutan lainnya.

Ayat (2)

Pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan

rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan

keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.

Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kondisi spesifik biofisik adalah keadaan flora yang secara

spesifik cocok pada suatu kawasan atau habitat tertentu sehingga keberadaannya

mendukung ekosistem kawasan hutan yang akan direhabilitasi.

Penerapan teknik rehabilitasi hutan dan lahan harus mempertimbangkan lokasi spesifik,

sehingga perubahan ekosistem dapat dicegah sedini mungkin.

Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan mengikutsertakan

masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. pengaturan daerah aliran sungai prioritas,

b. penyusunan rencana,

c. koordinasi antar sektor tingkat pusat dan daerah,

d. peranan pihak-pihak terkait, dan

e. penggunaan dan pemilihan jenis-jenis tanaman dan teknologi.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dukungan pemerintah dapat berupa bantuan teknis, dana, penyuluhan, bibit tanaman,

dan lain-lain, sesuai dengan keperluan dan kemampuan pemerintah.

Pasal 44

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. teknik,

b. tata cara,

c. pembiayaan,

d. organisasi,

e. penilaian, dan

f. pengendalian dan pengawasan.

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam

pada kawasan hutan.

Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis

vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan.

Ayat (4)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. pola, teknik, dan metode,

b. pembiayaan,

c. pelaksanaan, dan

d. pengendalian dan pengawasan.

Pasal 46

Fungsi konservasi alam berkaitan dengan: konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air, serta konservasi udara; diatur sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari

kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. prinsip-prinsip perlindungan hutan,

b. wewenang kepolisian khusus,

c. tata usaha peredaran hasil hutan, dan

d. pemberian kewenangan operasional kepada daerah.

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum,

maupun badan usaha.

Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api,

menara pengawas, dan jalan pemeriksaan.

Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat

angkut.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik,

atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat

berperan sesuai dengan fungsinya.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah

dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang,

antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.

Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan

kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain

untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan

yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan

hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk

membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.

Huruf b

Yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan

hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Huruf c

Secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan

kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut

dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.

Huruf d

Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang.

Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus

atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran

hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan

dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat

izin dari pejabat yang berwenang.

Huruf e

Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat pusat atau

daerah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memberikan izin.

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

a. Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara

geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara,

dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk

menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian.

b. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi

pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya

bahan galian dan sifat letakannya.

c. Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk

menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

Huruf h

Yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap

pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan

tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai

bukti.

Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak

sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil

hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.

Huruf i

Pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk

kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan.

Huruf j

Yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa

traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok,

helikopter, jeep, tugboat, dan kapal.

Huruf k

Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alatalat

seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan

tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.

Huruf l

Cukup jelas

Huruf m

Cukup jelas

Ayat (4)

Undang-undang yang mengatur tentang ketentuan mengeluarkan, membawa, dan atau

mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi adalah Undang-undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Ayat (1)

Kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi

(IPTEK) memiliki peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan hutan yang lestari.

Ayat (2)

Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan kekayaan

kultural, baik berupa seni dan atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi

tradisi atau budaya masyarakat. Kekayaan tersebut merupakan modal sosial untuk

peningkatan dan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK kehutanan.

Ayat (3)

Plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh

atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik.

Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.

Pencurian plasma nutfah adalah mengambil atau memanfaatkan plasma nutfah secara

tidak sah atau tanpa izin.

Pasal 53

Ayat (1)

Budaya IPTEK adalah kesadaran akan pentingnya IPTEK yang diartikulasikan dalam sikap

dan perilaku masyarakat, yang secara konsisten mau dan mampu memahami,

menguasai, menciptakan, menerapkan, dan mengembangkan IPTEK dalam kehidupan

sehari-hari.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pemerintah adalah lembaga penelitian dan pengembangan

(Litbang) departemen yang bertanggung jawab di bidang kehutanan bersama-sama

lembaga penelitian nondepartemen.

Yang dimaksud dengan perguruan tinggi adalah perguruan tinggi negeri dan swasta.

Yang dimaksud dengan dunia usaha adalah unit litbang BUMN, BUMD, dan BUMS

Indonesia.

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain

pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.

Ayat (4)

Untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang kondusif, pemerintah melakukan

inisiatif dan koordinasi bagi terselenggaranya penelitian dan pengembangan, antara

lain melalui kebijakan yang berorientasi pada penciptaan insentif dan disinsentif yang

memadai.

Pasal 54

Ayat (1)

Pemerintah mengembangkan hasil-hasil penelitian dalam bidang kehutanan menjadi

paket teknologi tepat guna, untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya

meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha pemanfaatan dan pengelolaan hutan.

Ayat (2)

Untuk menjamin keberlanjutan inovasi, penemuan, dan pengembangan IPTEK,

diperlukan jaminan hukum bagi para penemunya untuk dapat memperoleh manfaat dari

hasil temuannya.

Yang dimaksud melindungi adalah melindungi dari pencurian terhadap hak paten, hak

cipta, merk, atau jenis hak lainnya yang menjadi hak istimewa yang dimiliki oleh

peneliti atau lembaga Litbang.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 55

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Semua upaya pemanfaatan dan pengembangan IPTEK hendaknya merupakan

manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diarahkan untuk kepentingan

manusia sebagai makhluk individu dan mahluk sosial.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain

pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.

Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga

internasional.

Ayat (4)

Mengingat penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan tidak hanya dilaksanakan

oleh pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan

koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.

Pasal 56

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Mengingat penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh

pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk

mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan

koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.

Pasal 57

Ayat (1)

Untuk penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta

penyuluhan kehutanan, diperlukan biaya yang cukup besar dan berkelanjutan, guna

percepatan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK untuk mengejar

ketinggalan selama ini. Oleh karena itu diperlukan dana investasi yang memadai.

Untuk mengelola dana tersebut, dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri

membentuk lembaga. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di

bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.

Ayat (2)

Penyediaan kawasan hutan dimaksudkan untuk dijadikan lokasi penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, serta pengembangan

usaha guna memberdayakan lembaga penelitian, pendidikan dan latihan serta

penyuluhan kehutanan.

Pasal 58

Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:

a. kelembagaan,

b. tata cara kerjasama,

c. perizinan,

d. pengaturan tenaga peneliti asing,

e. pendanaan dan pemberdayaan,

f. pengaturan, pengelolaan kawasan hutan, penelitian dan pengembangan,

pendidikan dan latihan, serta penyuluhan,

g. sistem informasi, dan

h. pengawasan dan pengendalian.

Pasal 59

Yang dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat

penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundangundangan

di bidang kehutanan.

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Yang dimaksud dengan berdampak nasional adalah kegiatan pengelolaan hutan yang

mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya penebangan liar, pencurian

kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan penambangan dalam hutan tanpa

izin.

Yang dimaksud dengan berdampak internasional adalah pengelolaan hutan yang

mempunyai dampak terhadap hubungan internasional, misalnya kebakaran hutan,

labelisasi produk hutan, penelitian dan pengembangan, kegiatan penggundulan hutan,

serta berbagai pelanggaran terhadap konvensi internasional.

Pasal 65

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

i. tata cara dan mekanisme pengawasan,

j. kelembagaan pengawasan,

k. obyek pengawasan, dan

l. tindak lanjut pengawasan.

Pasal 66

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan yang

bersifat operasional.

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

m. jenis-jenis urusan yang kewenangannya diserahkan,

n. tatacara dan tata hubungan kerja,

o. mekanisme pertanggungjawaban, dan

p. pengawasan dan pengendalian.

Pasal 67

Ayat (1)

Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi

unsur antara lain:

a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih

ditaati; dan

e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Ayat (2)

Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar

hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di

daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

f. tata cara penelitian,

g. pihak-pihak yang diikutsertakan,

h. materi penelitian, dan

i. kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.

Pasal 68

Ayat (1)

Dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk memperoleh manfaat

sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada putusnya hubungan

masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan hilangnya mata

pencaharian mereka.

Agar perubahan status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan,

maka pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban

untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata

pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 69

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah mencegah dan menanggulangi

terjadinya pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, pendudukan,

dan lain sebagainya.

Ayat (2)

Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan

konservasi, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan dalam

bentuk bantuan teknis, pelatihan, serta bantuan pembiayaan.

Pendampingan dimungkinkan karena adanya keuntungan sosial seperti pengendalian

banjir dan kekeringan, pencegahan erosi, serta pemantapan kondisi tata air.

Keberadaan lembaga swadaya masyarakat dimaksudkan sebagai mitra sehingga

terbentuk infrastruktur sosial yang kuat, mandiri, dan dinamis.

Pasal 70

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Forum pemerhati kehutanan merupakan mitra pemerintah dan pemerintah daerah

untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengurusan hutan dan berfungsi

merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai masukan

bagi pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan.

Keanggotaan forum antara lain terdiri dari organisasi profesi kehutanan, lembaga

swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan, tokoh-tokoh masyarakat,

serta pemerhati kehutanan.

Ayat (4)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. kelembagaan,

b. bentuk-bentuk peran serta, dan

c. tata cara peran serta.

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah tindakan yang harus dilakukan oleh

pihak yang kalah sesuai keputusan pengadilan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 77

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah Undangundang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu meliputi pejabat pegawai

negeri sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab

dalam pengurusan hutan.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Menangkap dan menahan orang yang diduga atau sepatutnya dapat diduga

melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil

hutan.

Dalam rangka menjaga kelancaran tugas di wilayah-wilayah kerja tertentu,

maka penerapan koordinasi dengan pihak POLRI dilaksanakan dengan tetap

mengacu KUHAP dan disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Penghentian penyidikan wajib diberitahukan kepada penyidik POLRI dan

penuntut umum.

Ayat (3)

Pejabat penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada

pejabat penyidik POLRI, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum

melalui pejabat penyidik POLRI. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan

bahwa hasil penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan.

Mekanisme hubungan koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dengan

pejabat penyidik POLRI dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 78

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat

(3) huruf d, juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Ketentuan pidana yang dikenakan pada ayat ini merupakan pelanggaran terhadap

kegiatan yang pada umumnya dilakukan oleh rakyat. Oleh karena itu sanksi pidana yang

diberikan relatif ringan dan diarahkan untuk pembinaan.

Ayat (9)

Cukup jelas

Ayat (10)

Cukup jelas

Ayat (11)

Cukup jelas

Ayat (12)

Cukup jelas

Ayat (13)

Cukup jelas

Ayat (14)

Yang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan terbatas,

perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya.

Ayat (15)

Yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat,

perahu layar, helikopter, dan lain-lain.

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Sanksi administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, pencabutan izin,

penghentian kegiatan, dan atau pengurangan areal.

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

a. ketentuan-ketentuan ganti rugi dan sanksi administratif,

b. bentuk-bentuk sanksi, dan

c. pengawasan pelaksanaan.

Pasal 81

Cukup jelas

Pasal 82

Cukup jelas

Pasal 83

Cukup jelas

Pasal 84

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3888